UUJK No 2/2017
UUJK No 2/2017
Oleh SITI YUNIARTI (Maret 2017)
Salah satu perubahan mendasar dalam Undang-Undang No.2
Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti Undang-Undang No.18 Tahun
1999, adalah perihal sanksi dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Dalam catatan
konstruksi di Indonesia, salah satu kasus kegagalan bangunan yang cukup
mendapat perhatian masyarakat antara lain runtuhnya jembatan Mahakam II di
Kalimantan Timur pada bulan Nopember 2011 yang diikuti dengan pemberian sanksi
pidana yang dijatuhkan kepada pejabat pelaksana teknis kegiatan, kuasa pengguna
anggaran dan manajer proyek.
Dalam UU Jasa Konstruksi 1999, pengertian kegagalan
bangunan adalah sebagai berikut:
Sebagai keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna
jasa, menjadi tidak
berfungsi dengan
baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja
konstruksi atau pemanfaatannya
yang menyimpang sebagai
akibat kesalahan Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa.
Adapun dalam UU Jasa Konstruksi 2017, kegagalan
bangunan diberikan arti sebagai berikut:
Suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi.
Dengan demikian, syarat kegagalan bangunan yang
termasuk dalam lingkup kegagalan bangunan dalam UU Jasa Konstruksi adalah
kegagalan bangunan yang telah diserahkan kepada Pengguna Jasa, sehingga
tidaklah termasuk pada keruntuhan bangunan sebelum penyerahan akhir hasil
tersebut. Untuk itu kapan penyerahan akhir hasil jasa konstruksi merupakan hal
krusial yang mana dalam praktiknya dibuktikan dengan suatu bukti tertulis
sebagaimana diatur dalam kontrak kerja konstruksi.
Pertanyaan selanjutnya adalah pihak yang memikul
tanggung jawab dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Dalam kontrak kerja
konstruksi sebagai dasar hukum pelaksanaan jasa konstruksi, ada 2 (dua) pihak
yang terikat yakni Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa. Dalam UU Jasa Konstruksi
2017, Penyedia Jasa dianggap dapat bertanggungjawab dalam hal terjadi kegagalan
bangunan yang disebabkan karena penyelenggaraan jasa konstruksi yang tidak
memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberkelanjutan yang
diatur dalam UU Jasa Konstruksi 2017. Adapun Pengguna Jasa memikul tanggung
jawab atas kegagalan bangunan yang terjadi setelah lewatnya jangka waktu
pertanggungan Penyedia Jasa atas kegagalan bangunan. Jangka waktu pertanggungan
atas kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa dituangkan
dalam kontrak kerja konstruksi yang disesuaikan dengan rencana umur konstruksi.
Dalam hal rencana umur konstruksi lebih dari 10 (sepuluh) tahun, maka Penyedia
Jasa hanya bertanggung jawab atas kegagalan bangunan paling lama 10 (sepuluh)
tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan jasa konstruksi.
Baik UU Jasa Konstruksi 1999 maupun UU Jasa Konstruksi
2017 menyadari bahwa pelaksanaan jasa konstruksi merupakan suatu hal yang
komplek dan melibatkan banyak kepentingan, olehkarenanya dalam hal
terjadi suatu kegagalan bangunan diperlukan pihak yang mampu memberikan
pandangan secara obyektif dan profesional terkait dengan tanggungjawab atas
kegagalan bangunan tersebut. Terlebih apabila kegagalan bangunan disebabkan
oleh Penyedia Jasa, mengingat Penyedia Jasa dalam jasa konstruksi melibatkan
lebih dari satu fungsi. Seperti tercantum dalam UU Jasa Konstruksi 1999, jenis
usaha konstruksi terdiri atas usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan
konstruksi maupun usaha pengawasan konstruksi yang diselenggarakan oleh
masing-masing perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pegawas
konstruksi. Sedangkan dalam UU Jasa Konstruksi 2017, jenis usaha konstruksi
meliputi usaha jasa Konsultasi Konstruksi, usaha Pekerjaan Konstruksi dan usaha
Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi. Olehkarenanya, guna menentukan penyebab dari
suatu kegagalan bangunan dan pihak yang bertanggungjawab atas kegagalan
tersebut, kedua undang-undang tersebut menunjuk penilai ahli untuk melakukan
fungsi tersebut.
Berikut disajikan tabel yang memuat bentuk
pertanggungjawaban oleh pelaku jasa konstruksi dalam hal terjadi kegagalan
bangunan sebagai berikut:
|
UU
Jasa Konstruksi 1999*
|
UU
Jasa Konstruksi 2017
|
Penggantian/perbaikan
bangunan
|
–
|
Pasal
63
Penyedia Jasa
wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (1) yang disebabkan kesalahan Penyedia Jasa.
|
Ganti
rugi
|
Pasal 26
(1)
Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana
atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab
sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi.
(2)
Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana
konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain,
maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha
dan dikenakan ganti rugi.
Pasal 27
Jika terjadi
kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pengguna jasa dalam
pengelolaan bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain,
maka pengguna jasa wajib bertanggung jawab dan dikenai ganti rugi.
Pasal 28
Ketentuan
mengenai jangka waktu dan penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
tanggung jawab perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas
konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 serta tanggung jawab pengguna
jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
Pasal
67
(1)
Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa wajib memberikan ganti kerugian dalam
hal terjadi Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3).
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian ganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
Pidana
|
Pasal
43
(1)
Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak
memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan
konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun
penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari
nilai kontrak.
(2)
Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah
ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan
bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan
denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.
(3)
Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi
dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan
pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan
menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan
dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling
banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
|
–
|
Sanksi
Administratif
|
Keterangan:
Sanksi
administratif tercantum dalam UU Jasa Konstruksi 1999, namun tidak secara
eksplisit menyatakan jenis sanksi administratif pada kegagalan bangunan.
|
Pasal
98
Penyedia Jasa
yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki Kegagalan
Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dikenai sanksi administratif
berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif;
c.
penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
d.
pencantuman dalam daftar hitam;
e.
pembekuan izin; dan/atau
f.
pencabutan izin.
|
Dengan dihapusnya sanksi pidana bagi pelaku jasa
konstruksi, maka Undang-Undang Jasa Konstruksi 2017 menempatkan hubungan antara
pengguna jasa dan penyedia jasa konstruksi dalam ranah hukum perdata yang mana
sesuai dengan dasar hubungan hukum di antara para pihak yakni kontrak kerja
konstruksi. (***)
Sumber : https://business-law.binus.ac.id/2017/03/26/kegagalan-bangunan-tiada-lagi-pidana-bagi-pelaku-jasa-konstruksi/
Komentar
Posting Komentar